Metodologi Perencanaan


BAB 5
METODOLOGI PERENCANAAN
B
ab ini berisi beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan oleh otoritas perencanaan dalam menyusun suatu rencana pembangunan. Aspek-aspek tersebut adalah:

1.      Tujuan
2.      Target rencana
3.      Penetapan laju pertumbuhan
4.      Kebijakan investasi
5.      Capital Output Ratio (COR)
6.      Keseimbangan dalam perencanaan
7.      Perencanan fisik dan perencanaan keuangan
8.      Perencanaan dari Atas (Top-Down Planning) dan perencanaan dari bawah (Bottom-up planning)
9.      Jangka waktu perencanaan
10.  Kesinambungan dalam perencanaan
11.  Pelaksanaan perencanaan
12.  Kelengkapan perencanaan
13.  Fleksibelitas dan rigiditas dalam perencanaan
5.1       PERUMUSAN TUJUAN
Langkah pertama perencana adalah merumuskan tujuan umum rencana bersangkutan secara jelas dan singkat. Suatu batasan (Definisi) tujuan pembangunan yang tepatsecara logis merupakan komponen pertama dari suatu rencana pembangunan. Tanpa itu tidak mungkin menyusun suatu strategi yang koheren dan konsisten untuk mengalokasikan sumber-sumber kepada berbagai cabang perekonomian nasional.
Tanpa tujuan perencanaan yang dinyatakan secara jelas, maka target-target dan proyek-proyek mungkin dipilih secara arbiter. Kebijaksanaan-kebijaksanaan dan usaha-usaha yang ditetapkan untuk mengimplementasikan rencana tersebut satu satu lain juga akan bersifat kontradiktif. Suatu batasan tujuan pembangunan yang jelas oleh karena itu sangat penting bagi keberadaan suatu rencana. Rumusan tujuan yang baik membuat perencanaan menjadi purposif. Hal itu akan membantu dalam memperbesar konsentrasi usaha-usaha nasional dalam mencapai tujuan-tujuan ini. Dalam kenyataannya, perencanaan tidak mungkin tanpa adanya tujuan yang terdefinisi secara jelas pada negara yang bersangkutan. Semakin jelas batasan tujuan suatu rencana dan semakin realistis tujuan tersebut, maka semakin besar peluang rencana tersebut untuk berhasil. Sebagai ilustrasi berikut ini dikemukakan tujuan perencanaan di beberapa negara.
Sebagian besar perencanaan ekonomi pemerintahan Nazi Jerman adalah karena adanya tujuan yang terdefinisi secara baik, seperti membebaskan perekonomian nasional dari setan depresi dan membuat negara tersebut kuat secara militer. Pengalaman Jerman ini memberikan pelajaran bahwa otoritas perencanaan suatu negara terlebih dahulu harus menetapkan tujuan rencananya dengan jelas dan baik.
Sebagian besar perencanaan ekonomi pemerintahan Nazi Jerman adalah karena adanya tujuan yang terdefinisi secara baik, seperti membebaskansperekonomian nasional dari setan depresi dan membuat negara tersebut kuat secara militer. Pengalaman Jerman ini memberikan pelajaran bahwa otoritas perencanaan suatu negara terlebih dahulu harus menetapkan tujuan rencananya dengan jelas dan baik.
Tujuan perencanaan Inggris (1945-1951) salah satunya adalah pencapaian full emplyment di USA, memaksimumkan pendapatan nasional, di Perancis, Cekoslawakia, Polandia dan Yunani segera setelah Perang Dunia II berakhir: meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Di Amerika Selatan industrialisasi yang cepat.
Perencanaan di Indonesia dari segi jangka waktunya dibedakan atas: jangka panjang (25 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan jangka pendek (1 tahun). Tujuan pembangunan Indonesia dalam jangka panjang seperti dapat dilihat dalam GBHN adalah:
Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata spiritual dan material berdasarkan pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan raktat dalam suasana perikehidupan yang aman, tentram, tertib dan dinasmis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, berdaulat, tertib dan damai.
Tujuan pembangunan tersebut akan dicapai secara bertahap (melalui serangkaian repelita) dengan tujuan masing-masing tahap pada umumnya adalah:
  1. Meningkatkan taraf hidupdan kesejahteraan seluruh rakyat, dan
  2. Meletakkan landasan yang kuat bagi pembangunan tahap berikutnya.
Selanjutnya tujuan masing-masing Repelitasecara spesifik adalah sebagai berikut:
Repelita I:
Meletakkan titik berat kepada sektor pertambangan dan industri yang mendukung sektor pertanian.
Repelita II:[1]
a.       Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat
b.      Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya
Repelita III:[2]
Tujuan Repelita III hampir sama dengan tujuan Repelita II, hanya saja dalam Repelita III ini diberikan tekanan kepada aspek pemerataan. Tujuan Repelita III tersebut adalah:
  1. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat yang makin merata dan adil
  2. Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya
Untuk mencapai tujuan tersebut ditempuh kebijaksanaan yang berlandaskan kepada trilogi pembangunan, yaitu:
  1. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
  2. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
3.      Stabilitas nasional yang dinamis
Repelita IV
Tujuan Repelita IV sama dengan Repelita III hanya saja dalam implementasinya aspek pemerataan diberi prioritas yang semakin tajam. Tujuan Repelita IV adalah:[3]
  1. Meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang semakin merata dan adil
  2. Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya
Sehubungan dengan itu tatanan “Trilogi Pembangunan” dalam Repelita IV adalah sebagai berikut:[4]
  1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
  2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
3.      Stabilitas nasional yang dinamis
Sifat tujuan pembangunan tergantug kepada preferensi dan tahap pembangunan negara bersangkutan. Negara-negara sosial akan memilih tujuan-tujuan yang berbeda dari negara-negara dengan “Sistem Perekonomian Campuran”, NT akan mempunyai tujuan pembangunan yang berbeda dari negara-negara yang lebih maju.
Sebagai ilustrasi berikut ini disajikan beberapa tujuan utama dari beberapa perekonomian yang terencana pada asa lalu.
  1. Pertahanan
  2. Mengembangkan daerah terbelakang
  3. Meningkatkan standar hidup
  4. Full-employment
  5. Kesamaan sosial ekonomi
f.       Jaminan sosial
5.1.1         Pertahanan
Pertahanan sebagai tujuan utama suatu rencana, anatra lain ditetapkan pemerintahan Nazi Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler. Tujuan utamanya adalah mempersiapkan Jerman untuk menghadapi Perang Dunia Kedua (1939-1945).
Di Italia pada waktu yang sama tujuan utama perencanaan pemerintahan Fasis-Musolini adalah untuk mempersiapkan landasan bagi pembentukan Kerajaan Romawi Modern.
Uni Sovyet, meskipun mengenalkan tujuan pencapaian suatu keadana socio ekonomi tertentu, belakangan (terutama sesudah 1933) memasukkan tujuan pertahanan terhadap agresi dari luar negeri sebagai salah satu tujuan utama perekonomiannya. Demikian pula Repelita Ketiga India yang semula mengenalkan tujuan pengembangan sosio-ekonomi tertentu, kemudian berubah dimana tujuan politis yaitu untuk mempertahankan negara menjadi lebih dominan, setelah serangan Cina yang berbahaya pada bulan Oktober 1962. Repelita Turki yang ditetapkan pada tahun 1939 untuk mempercepat industrilisasi dalam realitasnya adalah suatu rencana untuk memperkuat pertahanan negara.
5.1.2    Pembangunan Daerah Terbelakang
Pembangunan Daerah Terbelakang sebagai tujuan utama, misalnya diterapkan oleh pemerintahan Roesevelt pada tahun 1930-an di USA. Tujuan tersebut dikenalkan dengan ‘Multipurpose Tennese Vallery Schame’ yang dimaksudkan untuk mengembangkan Lembah Tennese yang secara ekonomi terbelakang di negara itu. Pembangunan daerah terbelakang mungkin kadang-kadang merupakan suatu tujuan yang independen, tetapi sangat sering hal itu merupakan tambahan terhadap tujuan-tujuan politis misalnya, suatu daerah yang membangkang secara permanen dalam suatu negara dapat dibujuk dengan mempercepat langkah pembangunan ekonomi daerah tersebut melalui institusi perekonomian yang terencana.
5.1.3    Meningkatkan Standar Kehidupan
Tujuan penting lainnya pada kebanyakan negara adalah meningkatkan standar kehidupan rakyat di negara tersebut melalui perluasan produksi dan penggunaan barang-barang konsumen serta peningkatan pelayanan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan kegiatan kultural. Di NT hal ini mutlak perlu untuk meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan per-kapita. Rencana sepuluh tahun Srilanka, tiga rencana empat tahun Taiwan dan rencana pembangunan empat tahun Singapura merupakan beberapa pengecualian. Tujuan utamanya lebih ditekankan kepada usaha untuk mencapai tingkat kesempatan kerja yang lebih tinggi dan pada tingkat pendapatan per-kapita yang lebih tinggi.
5.1.4         Kesempatan Kerja Penuh (Full Employment)
Menyediakan peluang kerja kepada para pekerja yang masih menganggur mungkin merupakan tujuan primer atau sekunder dari perencanaan. Dalam perekonomian Nazi Jerman full employment  muncul sebagai tujuan primer karena negara itu dihadapkan kepada problema pengangguran massal selama hari-hari depresi. Full employment juga merupakan tujuan utama perencanaan ekonomi Presiden Roosevelt di USA di bawah program New-Deal.
5.1.5         Kesamaan Kondisi Sosial Ekonomi
Tujuan ini implisit dalam ‘perekonomian terencana’. Di Uni Sovyet, kesamaan sosio-ekonomi ini muncul sebagai salah satu tujuan-tujuan dasar perencanaan ekonomi. Perekonomian terencana adalah salah satu perekonomian yang nasional dan mencoba meminimumkan pengangguran sumber-sumber daya produktif. Hal ini tidak mungkin dilakukan bila terdapat ketidakmerataan pendapatan yang mencolok di negara itu. Ketidakmerataan pendapatan ini akan berarti bahwa banyak sekali waktu yang terbuang dan kebodohan. Banyak sekali keinginan para jutawan yang tidak begitu penting yang akan dipenuhi sementara sebagian kebutuhan esensial dan mendasar orang miskin terabaikan. Situasi semacam ini tidak menjamin penggunaan sumber-sumber produktif secara ekonomis, penting sekali untuk menetapkan kesamaan sosial sebagai salah satu tujuan perencanaan.
5.1.6         Jaminan Sosial
Tujuan ini diadopsi pada perekonomian terencana secara umum pada tahap-tahap akhir ketika negara tersebut sudah mencapai tingkat industrialisasi yang cukup tinggi. Jaminan sosial berarti full employment pada tingkat upah yang wajar, penyediaan tunjangan sakit, kecelakaan, pengangguran dan usia tua.
5.1.7         Tujuan Beberapa Repelita di India
Sebagai ilustrasi berikut ini dikemukakan tujuan beberapa Repelita di India.
Repelita II:
  1. Kenaikan pendapatan yang memadai sehingga tingkat kehidupan masyarakat di negara ini meningkat
  2. Industrialisasi yang cepat dengan penekanan terutama kepada pembangunan industri dasar dan industri besar
  3. Perluasan kesempatan kerja secara besar-besaran
d.      Mengurangi disparitas income dan kesejahteraan di dalam masyarakat serta mendistribusikan kekuasaan ekonomi secara lebih merata
Keempat tujuan ini saling berhubungan dan kadang-kadang antara satu dengan lainnya terdapatpula sedikit konflik. Dalam kenyataannya, suatu tujuan secara otomatis mengarah kepada pencapaian tujuan lainnya. Tujuan pertama, misalnya kenaikan pendapatan nasional yang memadai, tidak dapat dicapai tanpa industrialisasi perekonomian yang cepat. Dan dalam mempromosikan pertumbuhan yang cepat, industri-industri dasar dan industri besar memainkan peranan penting. Dalam pada itu dalam suatu negara seperti India dimana terdapat jumlah tenaga kerja penganggur atau setelah penganggur yang tidak terbatas perluasan kesempatan kerja merupakan suatu tujuan penting perencanaan.
Repelita III
Rpelita Ketiga India menetapkan tujuan, yang secara praktis sama dengan Repelita Kedua dengan sedikit perbedaan yaitu adanya tujuan tambahan, yaitu:
  1. Pencapaian swasembada pangan, dan
b.      Meningkatkan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan industri dan ekspor
Kedua tujuan ini tidak dapat dielakkan karena kelangkaan pangan yang dialami oleh negara ini selama periode Repelita II. Dalam pada itu juga ditetapkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata selama Pelita III ini adalah 5 persen per tahun, sedikit lebih tinggi daripada Pelita II.
Repelita IV
Tujuan Repelita IV India adalah sebagai berikut:
  1. Mencapai laju pertumbuhan yang tidak kurang dari 5% per tahun di sektor pertanian
  2. Menjamin input yang diperlukan untuk peningkatan produksi pertanian, memperbesar pendapatan penduduk dan menambah bahan-bahan pangan
  3. Memperbesar supply barang-barang konsumen esensial
  4. Memperbanyak material-materil yang diperlukan untuk membangun perumahan
  5. Melanjutkan pertumbuhan dalam industri metalurgi, kimia, mesin-mesin, konstruksi, pertambangan, tenaga listrik dan transportasi
  6. Meningkatkan produktifitas melalui pembangunan sumber daya manusia
g.      Memperbesar kesempatan kerja dan keadilan sosial
Dari uraian tadi jelas bahwa tujuan-tujuan repelita IV lebih beragam daripada Repelita III. Repelita IV sebagian besar dititikberatkan kepada maksiminasi output pertanian di negara itu tetapi tujuan sosial masih menempati urutan yang terakhir.
5.1.8         Penutup
Prof. W.A Lewis dalam bukunya Development Planning (1966) menunjukkan bahwa NT sering membuat kesalahan dengan membuat proyeksi laju pertumbuhan sangat tinggi sehingga tidak mungkin dicapai.
Proyeksi laju pertumbuhan yang berlebihan ini menurut pendapatannya disebabkan oleh satu atau lebih dari tiga alasan berikut:
  1. Pemerintah mungkin mengemukan laju pertumbuhan yang tinggi untuk tujuan propaganda tanpa maksud untuk melaksanakannya
  2. Laju pertumbuhan yang tinggi menunjukkan bahwa negara itu lebih mementingkan apa dibutuhkannya daripada apa yang mampu dicapainya
c.       Pemerintah mungkin memproyeksikan laju pertumbuhan yang tinggi dengan maksud memperoleh bantuan luar negeri yang lebih besar.
Prof. Lewis menyarankan agar NSB memproyeksikan laju pertumbuhan yang tidak terlalu tinggi (moderat), karena sebagian besar NSB tidak berada dalam posisi untuk mencapai laju pertumbuhan 5 persen atau lebih per tahun. Menurut pendapatnya terdapat empat kendala fundamental terhadap laju pertumbuhan NSB, yaitu kelangkaan dalam:
  1. Sumber Daya Manusia (SDA)
  2. Keahlian tenaga kerja (Skilled manpower)
  3. Kapasitas fisik barang-barang kapital
d.      Pembiayaan industri
Sering ditemukan tujuan dalam suatu rencana pembangunan nasional satu sama lain tidak konsisten atau tidak harmonis. Hal ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa pemeritnah di negara-negara semacam ini gagal memutuskan isu-isu yang berkaitan dengan pembangunan sehingga para perencanan tidak berada dalam posisi untuk membuat seperangkat tujuan pembangunan dengan tingkat posisi tertentu. Meskipun para perencana dapat mengambil langkah untuk menghilangkan inkonsistensi dalam tujuan-tujuan tersebut, namun karena pemerintah secara umum mencoba memenuhi keinginan-keinginan dan kebutuhan hampir semua keinginan masyarakat dengan memaksakan sesuatu untuk semua orang. Hal ini menyebabkan tujuan-tujuan pembangunan satu sama lain tidak konsisten. Barangkali tidak berbahaya memaksakan sesuatu untuk semua orang. Hal ini menyebabkan tujuan-tujuan pembangunan satu sama lain tidak konsisten. Barangkali tidak berbahaya memaksakan tujuan-tujuan yang satu sama lain tidak serasi tersebut, asal diberi indeks prioritas atau prioritasnya dipahami. Tetapi bila pemerintah gagal menunjukkan tatanan prioritas-prioritas tujuan-tujuan yang beragam, maka tugas para perencana akan menjadi sangat sulit. Hal inilah yang merupakan dilema bagi para perencana Pakistan dalam menyusun Repelita I negara itu karena pemerintah tidak memberi mereka instruksi-instruksi yang berkenaan dengan tatanan prioritas diantara tujuan-tujuan perencanaan. Dalam keadaan tidak ada instruksi-instruksi pemerintah komisi perencanaan Pakistan memilih beberapa tujuan rencana itu kemudian mengusulkannya kepada pemerintah.
Bila tujuan-tujuan tertentu tidak konsisten, maka sulit menemukan usaha-usaha untuk mengefektifkan implementasinya. Keadaan semacam ini terjadi di Jamaika, dimana rencana nasional Jamaika (1957-1967) dirumuskan berdasarkan tujuan-tujuan yang satu sama lain tidak serasi. Tidak ada usaha yang dibuat oleh para perencana untuk menghilangkan inkonsistensi tujuan-tujuan sehingga kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diterapkan dengan implementasi rencana tersebut menjadi tidak konsisten. Tujuan-tujuan yang tidak konsisten ini dapat digantu selama periode implementasi bila tidak ada waktu untuk menghilangkannya pada waktu merumuskannya.
Beberapa NSB menggabungkan tujuan-tujuan pembangunan yang mentereng dalam rencana nasionalnya tetapi sangat sedikit atau tidak ada usaha sama sekali untuk menterjemahkannya ke dalam praktek atau pelaksaan. Sebagai contoh dapat dikemukakan Repelita India. Perluasan kesempatan kerja, promosi kesejahteraan dan reduksi ketimpangan dalam distribusi pendapatan kesejahteraan merupakan gambaran yang menonjol dalam tujuan-tujuan Repelita India, tetapi tujuan-tujuan ini dalam prakteknya mempunyai prioritas yang lebih pada yang terdapat dalam rencana.
5.2            TARGET RENCANA
Sesudah menetapkan tujuan, langkah berikutnya adalah mengkonkritkan atau mengkuantifikasikan tujuan-tujuan tersebut. Tujuan yang sudah dikuantifikasi itu disebut target. Misalnya tujuan adalah meningkatkan pendapatan per kapita, bila berdasarkan target tersebut kemudian perencana menurunkan (mencek-down) bahwa pendapatan per kapita akan ditingkatkan 5 persen  per tahun, maka tujuan tersebut sudah berubah menjadi target.
Adapun fungsi target:
a.       Sebagai pedoman (guide post) dalam mempersiapkan instrumen kebijaksanaan yang efektif
b.      Untuk menentukan output dan laju pertumbuhan masing-masing industri
c.       Membantu perencana dalam menentukan jumlah kebutuhan akan:
-          Bahan mentah (raw-material)
-          Man-power
-          Sumber-sumber lainnya yang diperlukan untuk menjalankan proyek-proyek yang sudah ditetapkan dalam rencana itu
-          Memberikan instruksi-instruksi yang berkenaan dengan pelaksanaan suatu ide, misalnya mengenai cakupan usaha-usaha yang dibuat oleh sektor-sektor publik swasta
Untuk mencapai tujuan para perencana dapat menetapkan sejumlah besar target-target yang berkaitan dengan beberapa cabang perekonomian. Disamping target pendapatan, para perencana dapat menetapkan target investasi, produksi, saving, employmet, ekspor dan lain-lainnya. Target-target tersebut dapat berupa target menyeluruh (over all) sektoral atau individual yang berkaitan dengan industri-industri, produksi atau komoditi. Target-target dapat ditetapkan dalam bentuk unit output secara fisik seperti halnya dalam unit nilai. Target-target dapat berskala nasional ataupun regional.
Ada rencana pembangunan yang hanya berisi beberapa target utama sementara beberapa rencana pembangunan lainnya menetapkan target dalam jumlah yang sangat besar. Repelita I Yugoslavia menetapkan target untuk hampir 600 komoditi untuk negara secara keseluruhan seperti halnya untuk keenam republikanya. Demikian juga rencana delapan tahun Indonesia juga menetapkan sejumlah besar terget-target fisik.
NSB perlu sejauh mungkin membatasi jumlah target kepada hanya beberapa item esensial saja dan memusatkan penggunaan sumber daya mereka yang langka kepada pencapaian target tersebut. Pemasukan sejumlah besar target dalam rencana menimbulkan sejumlah regiditas (kekacauan) dalam proses perencanaan yang pada gilirannya menghalangi pertumbuhan ekonomi. Semakin besarjumlah target semakin besar kebutuhan untuk mengkoordinasikannya dan akan semakin sering target-target tersebut direvisi dan akhirnya akan semakin sulit mencapainya. NSB oleh karena itu, sekali lagi harus membatasi jumlah targetnya menjadi beberapa target esensial saja pada waktu tertentu. Semakin maju negara tersebut dan semakin berpengalaman mesin perencanaannya, semakin dapat jumlah target fisiknya ditingkatkan secara baik sehingga mencakup seluruh aspek perekonomian nasional.
Rencana pembangunan berisi pula sejumlah porkas (forecast) dan proyeksi-proyeksi. Porkas adalah suatu taksiran (estimate) mengenai apa yang mungkin terjadi dalam lapangan kegiatan ekonomi tertentu berdasakan kebijaksanaan-kebijasaksanaan yang ada atau yang mungkin diterapkan. Misalnya para perencana manaksir bahwa pendapatan per kapita meningkat dengan laju 5 persen per tahun selama lima tahun ke depan. Proyeksi, berbeda dengan porkas, adalah suatu alat atau kelengkapan untuk mengecek konsistensi dan kompatabilitas asumsi-asumsi yang melandasi rencana tersebut. Misalnya proyeksi kenaikan produksi sektor pertanian sebesar 5 persen per tahun selama lima tahun ke depan memungkinkan para perencana memahami efek-efeks atau reaksi yang mungkin terjadi dari laju pertumbuhan yang semacam itu. Proyeksi ini dapat mengidentifikasi tingkat saving, investasi, produksi dan sebagainya serta jumlah tambahan tenaga terlatih yang diperlukan untuk menjamin laju pertumbuhan yang diproyeksikan ini. Perbedaan utama antara target dengan proyeksi adalah bahwa langkah-langkah perlu diambil untuk mencapai target, sedangkan pada proyeksi tidak ada langkah-langkah semacam itu yang perlu diambil. Menurut Prof. W. A Lewis target adalah sesuatu yang perlu diimplementasikan, sedangkan proyeksi tidak.
Target harus digabugkan dengan kebijaksanaan dan instrumen yang tepat untuk mencapainya. Tanpa itu, makna target akan berkurang sehingga paling-paling hanya menjadi suatu porkas atau proyeksi.
Otoritas perencanaan oleh karena itu harus membuat usaha-usaha khusus untuk menghubungkan dan menetapkan instrumen-instrumen kebijaksanaan ekonomi untuk pencapaian target-target yang ada di dalam rencana.
5.3            PENETAPAN LAJU PERTUMBUHAN
Langkah otoritas perencanaan berikutnya adalah menetapkan target pertumbuhan selama periode rencana. Untuk itu pada umumnya tersedia tiga pendekatan utama, yaitu:
  1. Kebutuhan
  2. Persediaan sumber daya
c.       Diantara kebutuhan dengan persediaan sumber daya
Pendekatan pertama tidak praktis karena tidak menjawab problema NSB. Pendekatan kedua lebih praktis, karena berarti bahwa size of the plan (yang dicerminkan oleh angka laju pertumbuhan) harus sesuai dengan sumber-sumber domestik negara itu. Akan tetapi meskipun praktis dan realistis biasanya memberikan laju pertumbuhan ekonomi yang menurut sebagian besar NSB terlalu rendah.
Pendekatan ketiga adalah yang paling menguntungkan bagi kebanyakan NSB. Sebagian besar negara-negara ini menentukan laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada kemampuan sumber daya yang ada.
Beberapa pemerintah NSB terlalu rendah menetapkan laju pertumbuhan ekonominya, misalnya 0,8 persen per tahun dalam Repelita II Malaysia yang dirancang berdasarkan basis sumber dan kapasitas negara itu.
Laju pertumbuhan yang sangat tinggi akan menjadi tidak realistis dan mengarah kepada inflasi yang serius. Seperti di Maroko, yang didalam Repelitanya direncanakan rata-rata 6,2 persen per tahun, ketika rata-rata selama 8 tahun sebelumnya hanyalah 1,5 persen per tahun. Di dalam Repelita II Nepal ditetapkan laju pertumbuhan ditetapkan terlalu tinggi tetao tidak pernah tercapai. Hal ini mengindikasikan bahwa bagi NSB pendekatan pertama dan kedua tidak dapat diterapkan dengan sukses. Sebaliknya pendekatan ketiga terbukti berhasil menentukan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih realistis seperti yang dilakukan oleh India dan Pakistan.
Para perencana Korea Selatan menetapkan laju pertumbuhan yang sangat tinggi melampaui kapasitas negara itu dengan akibat  perekonomian negara itu mengarah kepada inflasi, kesulitan dalam neraca pembayaran, tekanan berat terhadap aparatur keuangan dan administratif negara itu, serta kekecewaan terhadap perencanaan. Begitu pula sinisme yang meluas terhadap perencanaan Burma (kini Miyanmar) juga merupakan pencerminan dari karakter perencanaan pembangunan negara ini yang ambisius.
Kesulitan umum yang dihadapi NSB adalah kecenderungan para perencana yang terlalu ambisius dalam menentukan target-target pertumbuhan ekonominya.
5.4            KEBIJAKSANAAN INVESTASI
Langkah otoritas perencanaan berikutnya adalah mengambil keputusan mengenai investasi. Di India Model Harrod Domar (H-D) merupakan landasan bagi pendekatan perencanaan jangka panjang.[5] Model H-D dalam versinya yang sederhana dapat dikemukakan sebagai berikut:
g = St / Yt X O/C
dimana:
g      = Laju pertumbuhan ekonomi
St     = Tabungan nasional pada peridoe tertentu
Yt    = Pendapatan Nasional (NI) pada periode tertentu
O     = Output
C     = Capital
O/C = Kebalikan COR 1/COR
Konsep COR (Capital Output Ratio) atau koefisien kapital menyatakan banyaknya kapital yang diperlukan untuk menjamin kenaikan output (income) dalam jumlah tertentu. Bila COR suatu perekonomian adalah 3 : 1, maka hal ini berarti bahwa suatu investasi sebesar Rp3 Miliar (misalnya) akan memberikan peningkatan pendapatan sebesar Rp1 miliar. Industri yang berbeda dapat mempunyai COR yang berbeda. Akan tetapi COR rata-rata (ACOR) perekonomian itu secara keseluruhan dapat diperkirakan. Dalam Model H-D yang diperlukan bukan COR tetapi kebalikan dari COR atau 1/COR. Menurut model ini laju pertumbuhan perekonomian ditentukan oleh dua faktor, yaitu:
  1. Saving Income Ratio (SIR) atau investasi income ratio (IIR) dengan asumsi Saving = investasi (S = I).[6]
  2. 1/COR
Untuk menentukan IIR, para perencana pertama-tama harus menentukan NI setiap tahun, yang ingin dicapai selama periode perencanaan, katakanlah lima tahun. Pada saat yang sama perencanaan harus pula menentukan suatu COR yang tepat berdasarkan studi yang teliti mengenai situasi industri di negara itu. Dengan asumsi bahwa target yang ingin dicapai adalah suatu laju pertumbuhan setinggi 3 persen dan COR = 5 : 1, maka menurut Model H-D, SIR ditentukan dengan cara berikut:
3% = 1/5 SIR
Dimana,
SIR = St/ Yt
Solusi persamaan ini menghasilkan SIR tahunan sebesar 15 persen dari NI, yang berarti perekonomian itu harus menginvestasikan 15 persen dari NI-nya setiap tahun bila ia ingin mencapai laju pertumbuhan 3 persen per tahun. Badan perencanaan, oleh karena itu, harus menyusun investasi sebesar 15 persen dari NI perekonomian itu. Keuntungan model H-D ini bagi para perencana adalah bahwa model ini memungkinkan mereka untuk menentukan SIR yang diperlukan untuk mencapai laju pertumbuhan tertentu.
Repelita I India mengasumsi SIR awal perekonomian tersebut (Dengan tahun dasar 1950-1951) setinggi 5 persen dari NI, dan tujuannya adalah menaikkannya menjadi 7 persen pada akhir periode rencana itu. Asumsi 5 persen seperti terlihat pada SIR awal, didasarkan kepada gagasan bahwa tingkat saving di NT jarang melampaui 5 persen dari NI. Tetapi menurut D.K Rangkear IIR dalam tahun 1950-1951 adalah kira-kira 6 persen. Fenomena ini menunjukkan adanya elemen yang tidak realistis dalam Repelita I negara itu.
Pada Repelita II Komisi Perencanaan India (India Planning Commission disingkat IPC) membuat suatu proyeksi. Menurut komisi ini koefisien investasi atau SIR diasumsi meningkat dari 7 persen pada tahun 1955-1956 menjadi kira-kira 11 persen pada tahun 1960-1961. Kemudian meningkat lagi menjadi 14 persen pada tahun 1965-1966, 16 persen pada tahun 1970-1971 dan 17 persen pada tahun 1975-1976.
Pertanyaan yang timbul berapakah IIR yang ideal bagi suatu NSB atau perekonomian terbelakang yang perlu diperhitungkan di dalam perencanaan ekonomi. Di negara-negara Barat, pada awal industrialisasi mereka laju formasi kapital bersih (Net-capital formation) terentang antara 10 sampai 15 persen dari NI. Di Jepang IIR antara 1913 dan 1939 rata-rata 16 sampai dengan 20 persen. IIR yang tinggi yang bervariasi antara 15 dan 20 persen setahun dipelihara secara kontinyu di Uni soviet. Hal ini berarti bahwa untuk kelanjutan pembangunannya, suatu NSB yang menetapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus melakukan investasi tidak kurang dari 15 persen dari NI-nya. Disamping untuk mengejar negara-negara industri maju, NSB harus memelihara secara ketat suatu laju pertumbuhan penduduk yang relatif rendah. Seperti yang dikatakan oleh Prof. W.W. Rostow, kenaikan 5 dari persen atau kurangmenjadi di atas 10 persen dari NI atau Net National Product (NNP) adalah penting bagi suatu NSB untuk memasuki era tinggal landas (Take-off).
Model H-D tidak memperhitungkan adanya “Gestation Periode” (masa persiapan) dan proyek-proyek investasi. Semua proyek investasi tidak mempunyai jangka waktu penyelesaian yang sama. Beberapa proyek mempunyai jangka waktu penyelesaian yang lebih lama daripada proyek-proyek lainnya. Semakin pendek gestation period semakin tinggi laju kenaikan output, semakin lama gestation period, semakin rendah laju peningkatan output. Dengan kata lain, suatu perpanjangan masa persiapan mempunyai efek yang sama terhadap laju pertumbuhan sebagaimana halnya penurunan SIR atau kenaikan nilai COR.
Laju pertumbuhan dapat dipercepat dengan dua cara:
  1. Menetapkan COR yang rendah
b.      Mempertinggi SIR atau IIR
Kebanyakan perekonomian yang sedang membangun (ESB), untuk mempercepat laju pertumbuhannya, harus mulai dengan industri yang kurang kapital intensif dimaa COR-nya rendah. Hal ini barangkali dapat menjelaskan kenapa terlalu banyak perhatian diberikan kepada industri kecil dan industri kerajinan dalam Repelita II dan III India dan Repelita III, IV dan V Indonesia. Disamping COR yang rendah juga diperlukan SIR (IIR) yang tinggi. Tetapi SIR tidak dapat menjadi tinggi di ESB, karena kemiskinan dan standar hidup yang rendah. Dan juga tidak benar bahwa SIR yang rendah hanya akan terbatas kepada tahap-tahap awal pembangunan suatu negara. Keadaan ini dapat terus berlanjut pada masa akan datang seperti yang digambarkan oleh teori ‘Demonstrasi’ Duesenberry untuk ESB. Rendahnya SIR oleh karena itu merupakan kendala dalam pertumbuhan ESB.
Dengan mengasumsi COR, otoritas perencanaan dapat menentukan tingkat investasi absolut, pada periode perencanaan tertentu. Misalnya di India, IPC memutuskan untuk meningkatkan NI setinggi 11 persen selama periode Repelita I (Dari Rs. 9.000 Croses menjadi Rs.10.000 Croses) berdasarkan asumsi COR = 3/1 untuk Repelita I, ternyata bahwa untuk menaikkan NI sebesar Rs. 1.000 Croses, diperlukan investasi sebesar Rs. 3.000 Croses dalam proyek tersebut.
5.5            CAPITAL OUTPUT RATIO
Konsep COR seperti dijelaskan sebelumnya, menyatakan perbandingan antara kapital dengan output yang dihasilkannya. Konsep ini harus dibedakan dengan konsep Marginal Produktivitas Kapital (MPK) konsep MPK hanya menunjukkan kontribusi kapital terhadap total output, sementara faktor-faktor lainnya diasumsi konstan, COR sebaliknya, tidak menutup kemungkinan berubahnya faktor-faktor lain tersebut. Misalnya MPK terentang antara 5 persen sampai dengan 10 persen, sementara kombinasi kapital dengan faktor-faktor lainnya (yang jauh berubah) meningkat jauh lebih tinggi, katakanlah 25 persen atau lebih. Dengan kata lain COR bertepatan dengan MPK hanya jika kontribusi faktor-faktor lainnya seperti tanah dan tenaga kerja adalah nol.
ACOR berbeda dengan Marginal COR (MCOR) atau incremental COR (ICOR). ACOR mengekspresikan hubungan kuantitatif antara stok kapital (capital stock) pada suatu periode waktu dengan output pada periode itu. ICOR sebaliknya, mengekspresikan hubungan antara pembentukan kapital bersih (net kapital formulation) dan periode waktu tertentu dengan tambahan output bersih pada periode waktu sebelumnya yang berurutan dimana efek dari formasi kapital itu dapat dirasakan sepenuhnya. Hal ini didasarkan kepada asumsi bahwa pembentukan kapital menyebabkan kenaikan output atau dengan kata lain pembentukan kapital mendahului kenaikan output yang mengikutinya. Beberapa lama waktu yang diperlukan sehingga efek dari investasi itu dirasakan sebagian besar tergantung kepada sifat investasi tersebut.
Dari Model H-D dapat dipahami vitalnya COR dalam perencanaan ekonomi. ICOR merupakan suatu peralatan penting yang memungkinkan perencana menentukan laju pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai dengan IIR atau SIR tertentu. Sebaliknya ICOR juga menunjukkan IIR atau SIR yang dibutuhkan untuk mencapai laju pertumbuhan tertentu. Dalam pada itu COR sektoral dapat juga membantu dalam mendesain pola investasi perekonomian tersebut. Oleh karena kapital adalah komoditi langka di ESB, berbagai macam industri dapat ditata sesuai dengan intensitas kapital berdasarkan COR sektoralnya. Kerangka prioritas berbagai macam industri dapat disusun berdasarkan intensitas kapitalnya, misalnya industri-industri yang kurang padat mempunyai prioritas yang lebih tinggi daripada industri yang lebih padat kapital.
Besarnya COR dapat sangat bervariasi, hal ini antara lain ditentukan oleh faktor-faktor berikut:
  1. Persentase Investasi Langsung. Semakin tinggi proporsi investasi yang diarahkan kepada produksi komoditi langsung (pertanian,manufaktur dan berbagai bahan mineral) akan semakin rendah COR dan sebaliknya. Semakin tinggi proporsi investasi yang dicurahkan kepada berbagai utilitas publik (transportasi, power, air) dan pelayanan publik (sekolah, rumah sakit dan jalan) akan semakin tinggi COR dan sebaliknya
  2. Teknologi dan sifat produksi komoditi. Semakin tinggi proporsi investasi yang dicurahkan kepada berbagai industri berat, akan semakin tinggi COR karena proyek investasi dalam industri berat memerlukan waktu yang lama untuk membuahkan hasil. Sebaliknya semakin tinggi proporsi investasi yang dicurahkan industri-industri ringan akan semakin rendah COR.
  3. IIR, Investasi Baru dan Teknologi Baru. Semakin tinggi IIR, semakin maju teknologi baru yang terkandung di dalam stock kapital. Suatu negara yang mempunyai IIR yang lebih tinggi akan mempunyai bentuk teknologi yang lebih efisien dan sebagai akibat akan mempunyai output per unit kapital yang lebih besar daripada dengan IIR yang lebih rendah. Pertumbuhan lebih ditentukan oleh teknologi daripada kapital.
  4. Fluktasi harga input. COR akan naik dan jatuh sejalan dengan perubahan biaya input, misalnya upah, harga bahan mentah dan tingkat bunga. Bila peralatan kapital tersebut diimpor, maka kenaikan harga kapital tersebut akan menaikkan COR. Begitu pula kenaikan tingkat upah (tanpa diikuti oleh kenaikan efisien tenaga kerja) juga akan menaikkan COR
  5. Tingkat penggunaan kapital yang ada. COR secara langsung juga tergantung kepada pemanfaatan kapital yang ada. Kapital (mesin-mesin dan sebagainya) akan digunakan secara penuh bila dikenalkan cara kerja dua shift sebagai pengganti cara kerja satu shift di dalam penggunaan kapital itu. Pengenalan metoda kerja akan meningkatkan arus produksi dan membantu memperendah COR. Metoda ini akan melipatduakan tingkat depresiasi kapital, tetapi kemudian arus produktivitas akan lebih besar daripada tingkat depresiasi itu.
  6. Kepadatan penduduk. COR di negara berpenduduk jarang lebih tinggi daripada COR di negara berpenduduk padat. Biaya prasarana (jalan, rel kereta api, listrik supply air, dan sebagainya) terutama ditentukan oleh luasnya area yang dilayani.
Biaya pelayanan per kapita yang semacam ini jauh lebih tinggi pada negara dengan kepadatan penduduk 100 orang untuk setiap kilometer persegi daripada negara dengan kepadatan penduduk 10.000 orang per-kilometer persegi.
g.      Kebijaksanaan kesempatan kerja. Bila hanya terdapat sedikit atau tidak ada sama sekali pengangguran di negara itu kapital dapat digunakan untuk memaksimumkan laju pertumbuhan pendapatan. COR, oleh karena itu akan menjadi lebih rendah. Bila sebaliknya terdapat pengangguran yang signifikan di negara itu, maka sebagian besar dana yang tersedia akan digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan kesengsaraan manusia daripada untuk pembangunan. Laju pertumbuhan akan menurun dan COR akan menjadi lebih tinggi.
COR di NSB lebih tinggi daripada di NM karena alasan-alasan berikut ini:[7]
  1. Di NSb terdapat pemborosan pemakaian sumberdaya karena metoda produksi yang digunakan masih primitif
  2. NSB sangat miskin dalam pengetahuan teknis, sementara perkembangan pengetahuan teknis itu sendiri sangat lambat karena sistem pendidikan dan pelatihan yang kurang baik
  3. NSB memerlukan beberapa prasarana ekonomi dan sosial seperti transpor, power, perumahan dan pendidikan yang pada umumnya bercirikan padat kapital. Investasi dalam bidang prasarana ini pada umumnya berskala besar dan memakan waktu lama untuk membuahkan hasil sehingga COR pada tahap awalnya relatif tinggi
  4. Jenis prasarana ekonomi tertentu mungkin tidak segera dapat digunakan sepenuhnya sebagai akibat dari karakter perekonomian NSB yang stagnant. Fase awal underutilisasi prasarana ekonomi ini menyebabkan COR menjadi tinggi
  5. NSB yang mempunyai sumber daya alam terbatas harus menggantinya dengan kapital yang jauh lebih banyak
f.       Ketika pembangunan berlangsung di ESB pola demand cenderung bergeser kepada produk industri padat modal. Kecenderungan ini akan menuntun COR ke arah yang lebihh tinggi pada ESB bersangkutan.
Meskipun COR di NSB pada umumnya relatig tinggi, masih ada beberapa hal yang dapat menyebabkan COR di NSB tersebut bisa lebih rendah.[8]
Tadi sudah dikemukakan bahwa COR yang lebih rendah berarti diperlukan modal yang lebih sedikit untuk menghasilkan output tertentu. Berikut ini dikemukakan beberapa argumen yang dapat menyebabkan COR lebih rendah di NSB.
1.      Investasi kapital di NSB untuk meningkatkan output terkendala oleh besarnya skala sumber daya alam yang tidak digunakan (underutilize). Dengan demikian output akan dapat dicapai melalui jumlah investasi yang lebih kecil.
2.      NSB pada umumnya mencoba mengembangkan industri-industri padat tenaga kerja seperti agro-industri dan kerajinan yang hanya memerlukan jumlah modal yang relatif kecil
3.      Karena kelangkaan kapital, maka NSB terdorong untuk melakukan invensi atau inovasi yang menghemat pemakaian kapital
4.      Investasi kapital baru di NSB semacam ini akan membangkitkan kekuatan-kekuatan baru yang cenderung meningkatkan produksi
5.      Kenaikan investasi kapital sedikit saja akan diikuti oleh keuntungan yang relatif besar dalam produktivitas tenaga kerja
6.      Kemajuan ekonomi akan merangsang berkembangna kreativitas dan percobaan untuk menggunakan sepenuhnya kapasitas produktif yang sebelumnya hanya terpakai sebagian
7.      Komisi perencanaan India mengatakan bahwa kenaikan output yang terjadi karena tambahan satu unit kapital lebih tinggi pada perekonomian terencana daripada perekonomian yang tidak terencana. Dalam bagian ini sekurang-kurangnya hal ini terjadi karena semakin baiknya koordinasi program-program dimana perencanaan berperan dalam menunjang dan menghilangkan berbagai bentuk boom dan depresi yang sering mewarnai perekonomian pasar.
Uraian tadi menuntun kita kepada kesimpulan bahwa COR di NSB pada tahap awal pembangunan adalah relatif rendah dan kemudian meningkat dengan lamban pada tahap pembangunan yang lebih tinggi sampai pada tingkat tertentu.
Sebagai ilustrasi dalam Repelita I India, IPC mengasumsi COR = 3 : 1 dengan time-lag dua tahun antara kenaikan investasi dengan kenaikan output. COR tersebut diadopsi berdasarkan pengalaman negara-negara lainnya. Tidak ada penyelidikan atau investasi yang dilakukan untuk menemukan COR pada berbagai sektor dalam perekonomian India. Kenyataannya COR selama Repelita I tersebut adalah 1,8 : 1. COR yang lebih rendah pada repelita I itu dihubungkan oleh IPC dengan dua sebab:
1.      Dapat diuntungkan oleh musim hujan yang menghasilkan panen yang luar biasa, pada tahun 1952, 1953 dan 1954.
2.      Perluasan output industri yang besar sekali dengan menggunakan kapasitas industri yang ada sepenuhnya, yang sebelumnya tidak digunakan
5.6            PERENCANAAN FISIK DAN PERENCANAAN KEUANGAN
Pada umumnya ada dua teknik perencanaan yang berlawanan yang perlu diperhatikan yaitu:
Perencanaan fisik berarti perencanaan dalam bentuk sumber-sumber real seperti tenaga kerja, material, peralatan (equipment) dan sebagainya. Setiap program pembangunan memerlukan sumberdaya real, misalnya konstruksi jembatan kereta api memerlukan semen batu bata, baja dan keahlian tenaga kerja. Demikian juga setiap rencana pembangunan yang terdiri dari beberapa proyek konstruksi memerlukan sumber daya real dengan skala besar. Sewaktu menyusun perencanaan otoritas perencanaan sudah mempunyai keyakinan bahwa sumber daya yang diperlukan untuk mengimplementasikan rencana tersebut sudah tersedia. Bila tidak ada perencanaan sumber daya real, maka akan besar kemungkinan terjadinya botlenek selama periode pelaksanaan rencana itu. Perencanaan sumber daya real tidak hanya diperlukan bagi proyek-proyek (mikro) tetapi juga bagi perekonomian secara keseluruhan (makro). Selanjutnya juga perlu direncanakan lebih lanjut bagaimana menggunakan produk dari proyek-proyek yang sudah selesai tersebut.
Perencanaan keuangan, berarti menyusun sumber-sumber keuangan yang diperlukan untuk membiayai pengeluaran pembangunan. Dalam perekonomian bebas (free-enterprise economy), berbagai macam sumber daya fisik tersebut bukanlah barang bebas, melainkan perlu dibayar sebelum dapat digunakan. Dalam perekonomian dengan sistem ekonomi sosialis, tidak demikian halnya dimana semua peralatan produksi adalah milik negara. Meskipun demikian tenaga kerja perlu dibayar upahnya supaya mereka mau bekerja.oleh karena itu sampai pada jumlah tertentu perencanaan keuangan juga diperlukan. Dalam perekonomian bebas dimana semua peralatan produksi adalah milik pribadi atau individu, perencanaan keuangan menjadi semakin diperlukan bila faktor-faktor produksi tersebut diperlukan untuk mencapai tujuan pembangunan. Dengan demikian otoritas perencanaan perlu membuat tatanan untuk menjamin adanya supply dana yang diperlukan dari berbagai sumber untuk memenuhi kebutuhan uang dalam perencanaan tersebut.
5.7            KESEIMBANGAN DALAM PERENCANAAN
Otoritas perencanaan sebisa mungkin harus memelihara sejumlah keseimbangan untuk menjamin kelancaran dan keberhasilan implementasi rencana yang dibuatnya. Bila tidak maka rencana tersebut dikhawatirkan akan berakhir dengan kegagalan. Ketidakseimbangan berarti terdapat kelangkaan/ kelebihan dalam perekonomian bersangkutan. Dalam prakteknya terlebih dahulu perlu digambarkan berbagai keseimbangan sebelum target produksi akhir ditetapkan. Keseimbangan-keseimbangan tersebut antara lain: (a) keseimbangan antara target-target agregatif dengan persediaan sumber daya, (b) keseimbangan ke belakang, (c) keseimbangan keuangan dan moneter, serta (d) keseimbangan regional.
5.7.1         Keseimbangan Target dengan Sumberdaya (Crosswise Balance)
Perencanaan yang efisien harus didasarkan kepada keseimbangan antara sumberdaya yang tersedia dengan target produksi agregatif. Ketidakseimbangan keduanya dikhawatirkan akan menciptakan problema-problema serius bagi perencanaan perekonomian negara itu sendiri. Bila target output tidak terlalu tinggi, maka sumberdaya yang tersedia tidak harus digunakan secara penuh dan batas unemployment serta underemployment sumber-sumber produksi dapat dipertimbangkan. Bila sebaliknya target output itu ambisius, maka permintaan terhadap output mungkin sulit dipenuhi. Keseimbangan penting yang perlu dijamin dalam hal ini antara lain adalah dalam bidang power, tenaga kerja dan transportasi. Dalam kasus keseimbangan ‘power’ misalnya harus terdapat persediaan suplay yang cukup untuk memenuhi demand yang tumbuh dari beberapa target output agregatif. Bila keseimbangan antara demand dan suplay power ini tidak dapat dipenuhi sebelumnya (misalnya terdapat kelangkaan suplay) maka target output yang ditetapkan akan sulit dicapai. Demikian juga, perlu pula pemantapan keseimbangan tenaga kerja dan transportasi untuk menghilangkan kemungkinan ‘botlenek’ yang ditimbulkan oleh implementasi rencana itu. Namun diantara banyak keseimbangan yang perlu dipelihara dalam tipe ini yang paling penting adalah keseimbangan antara target fisik dan sumberdaya keuangan. Perbedaan (gap) diantara kedua aspek ini harus dihilangkan, apapun pengorbanan yang harus dilakukan. Bahkan dalam praktek perencanaan, adalah bijaksana untuk menyusun pembiayaan yang diperlukan sebelum menetapkan target output.
5.7.2         Keseimbangan ke Belakang
Untuk menjamin agar setiap target fisik konsisten secara internal, maka diperlukan keseimbangan ke belakang (backward balance). Penyeimbang produk final dengan sejumlah komponen memantapkan ekuilibrium produk final dengan sejumlah komponen yang masuk ke dalam produksi untuk menghasilkan produk tersebut.
Bila target utama suatu industri sudah ditetapkan, maka otoritas perencanaan harus tahu bahwa berbagai macam komoditi dan raw-material penting harus diperlukan untuk itu dapat disediakan. Sebagai ilustrasi, ketika otoritas perencanaan menetapkan target industri baja adalah 6 juta ton, maka pada waktu yang sama harus tersedia berbagai raw-material seperti besi, bijih besi, batu bara dan sebagainya dalam jumlah yang cukup, yang merupakan input bagi industri baja. Bila berbagai macam raw-material tersebut tidak dapat disediakan, maka akan muncul botlenek sehingga produksi baja akan macet. Selanjutnya produk baja yang sudah diproduksi merupakan input bagi beberapa industri lainnya. Perencanaan yang merupakan input bagi beberapa industri lainnya. Perencanaan yang bijaksana juga memerlukan bahwa penyelesaian target dalam suatu industri harus dihubungkan dengan penggunaannya pada industri lain. Dus, bila target industri baja itu sebesar 6 juta ton dicapai, rencana harus siap menggunakannya dalam industri lainnya secara simultan. Semuanya ini diperlukan karena seperti diketahui, semua kegiatan ekonomi satu sama lain saling bergantungan secara erat. Output suatu industri merupakan input bagi industri lainnya. Dengan demikian, tugas penyusunan dan pemantapan berbagai jenis keseimbangan merupakan suatu tugas yang kompleks, yang memerlukan perencanaan hati-hati dan pengetahuan teknologis dari perencana. Dus, perencanaan yang bersifat ilmiah berarti mengkoordinasikan segala-galanya dalam sebuah analisis yang simultan dan terintegrasi serta berpihak kepada beberapa basis optimum.
Untuk menunjang tugas perencanaan yang kompleks ini digunakan teknik analisis input-output (model I – O).[9]
5.7.3    Keseimbangan Keuangan dan Moneter
Keseimbangan ini meliputi 4 hal:
  1. Pemantapan keseimbangan total pendapatan penduduk dengan jumlah barang-barang konsumsi yang tersedia bagi mereka. Bila bagian pendapatan yang dikeluarkan untuk baran-barang konsumsi lebih besar daripada jumlah barang-barang konsumsi yang tersedia, maka tekanan inflasi akan menghambat pembangunan ekonomi
  2. Pemantapan keseimbangan bagian pendapatan yang akan digunakan untuk investasi swasta dengan jumlah barang-barang investasi yang tersedia bagi investor swasta
  3. Dalam sektor publik, keseimbangan yang harus dimantapkan adalah diantara dana keuangan yang harus disediakan untuk tujuan-tujuan investasi yang akan diproduksi atau diekspor
  4. Keseimbangan moneter juga penting untuk memantapkan keseimbangan antara pembayaran luar negeri dengan penerimaan luar negeri.
Kegagalan dalam memelihara keseimbangan keuangan dan moneter ini dapat menimbulkan kesulitan dalam memfungsikan perekonomian terencana tersebut.
Pengalaman negara-negara yang menerapkan perencanaan alat pembangunan ekonominya, menunjukkan bahwa memelihara keseimbangan moneter atau keuangan lebih penting daripada keseimbangan lainnya. Hanya sedikut dari negara-negara ini yang mampu menghilangkan tekanan inflasi pada periode-periode awal perencanaan mereka. Tekanan inflasi ini sebagian besar berasal dari peningkatan upah yang lebih cepat daripada output barang-barang konsumsi.
Sebagai kesimpulan, dalam perencanaan komprehensif, perlu dibuat suatu percobaan untuk menghubungkan berbagai macam proyek satu sama lain. Suatu percobaan untuk membuat efek-efek tidak langsung proyek tersebut ke dalam perhitungan juga perlu dibuat. Akhirnya suatu percobaan perlu dilakukan untuk membuat berbagai macam proyek itu cocok satu sama lain terutama dalam hal waktu, tenaga kerja, ukuran dan sebagainya. Suatu rencana pembangunan yang baik, oleh karena itu menjamin keseimbangan berdasarkan banyak front strategis. Sebaliknya, kelangkaan-kelangkaan yang krusial dan surplus-surplus yang tidak berguna akan berkembang seiring dengan implementasi rencana tersebut. Semua kelangkaan dan surplus ini sudah tentu tidak dapat dihilangkan sama sekali.
5.7.4         Keseimbangan Regional
Keseimbangan regional berarti bahwa daerah terbelakang pada suatu negara sejauh mungkin harus dikembangkan sehingga tidak terlalu tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di negara itu. Suatu rencana pembangunan tidak mungkin mengabaikan daerah-daerah tertentu dan memusatkan pembangunan ke daerah-daerah lainnya. Bila terdapat disparitas yang tinggi diantara daerah-daerah dalam suatu negara, maka dikhawatirkan integritas dan kesatuan negara itu akan terancam. Oleh karena itu usaha-usaha untuk menghilangkan disparitas yang tajam itu perlu diambil.
Tetapi hal ini bukan berarti bahwa semua dana pembangunan disebarkan kesemua daerah dalam negara itu begitu saja. Perbedaan daerah (area), seperti diketahui mempunyai perbedaan dalam potensi pertumbuhan. Beberapa daerah sangat kaya dengan sumer daya alam seperti berbagai rupa bahan mineral, hasil hutan, air dan sebagainya, sementara daerah lainnya sangat miskin. Dana pembangunan harus didistribusikan dengan memberikan prioritas kepada daerah yang potensi pertumbuhannya relatif besar, bila tujuannya adalah memaksimumkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi hal ini hanya mungkin dilakukan bila negara itu terintegrasi penuh. Integrasi penuh mempunyai makna bahwa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi di semua negara itu adalah sama.
5.8            PERENCANAAN DARI ATAS DAN PERENCANAAN DARI BAWAH
Perencanaan dapat dilakukan dari atas, dari bawah atau dari atas dan dari bawah secara bersama-sama. Perencanaan dari bawah (bottom-up planning) dibandingkan perencanaan dari atas (tow-down planning), jauh lebih realistis dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Kelemahan perencanaan dari bawah ini adalah tidak dapat memasukkan gambaran perekonomian secara keseluruhan ke dalam perhitungan perencanaan. Perencanaan dari atas, meskipun dapat memasukkan gambaran perekonomian secara keseluruhan dengan lebih tepat dan terkoordinir ke dalam rencana yang disusun, dapat terlepas dari kebutuhan lokal. Namun diantara kedua pendekatan perencanaan tersebut pada dasarnya tidak terdapat konflik. Keduanya dapat dikombinasikan untuk menghasilkan suatu rencana pembangunan yang akurat dan realistis, seperti yang pernaj dilakukan oleh Uni Sovyet.
5.9            JANGKA WAKTU PERENCANAAN
Gagasan mengenai jangka waktu perencanaan sudah melekat (inheren) dalam pengertian perencanaan itu sendiri. Suatu rencana dibuat untuk jangka waktu tertentu, misalnya 1 tahun, 5 tahun dan 25 tahun. Maka dilihat dari jangka waktunya ada tiga bentuk rencana yaitu: (a) tahunan (pendek), (b) menengah, dan (c) perspektif (panjang).
5.9.1         Rencana Jangka Menengah
Uni Sovyet pada mulanya menerapkan serangkaian rencana 5 tahun, tetapi kemudian diubah menjadi rencana tujuh tahunan. Pemerintah Nazi Jerman menerapkan rencana 4 tahun. Perancis sampai tahun 1965 menerapkan rencana 4 tahun. India menerapkan pola 5 tahun. Rencana Jangka Menengah (RMJ) sering ditentukan oleh kebutuhan yang bersifat politis. Periode rencana Norwegia disesuaikan dengan periode parlemen, yaitu 5 tahun. Di Meksiko jangka waktu RMJ disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatan presiden. Jangka waktu RMJ ini juga banyak diatur berdasarkan pertimbangan regional dan nasional. Rencana pertama yang disiapkan oleh negara-negara yang tergabung dalam ‘Colombo Plan’ semuanya menggunakan jangka waktu 6 tahun. Selama era ‘Marshall Plan’, periode 4 tahun menjadi standar bagi negara-negara Eropa Barat yang berpartisipasi dalam rencana itu.
Pertanyaan berapakah lama RJM yang ideal tidak dapat dijawab segera. Hal ini tergantung kepada situasi pada masing-masing negara, karena situasi pada masing-masing negara berbeda maka RJM-nya juga akan berbeda. Meskipun terdapat kelangkaan informasi, suatu generalisasi masih dapat dibuat. Sebagai suatu persoalan kebijakan praktis terdapat keinginan untuk menetapkan suatu periode RJM yang cukup pendek untuk membuat proyeksi-proyeksi yang masuk akal. Jangka waktu yang lebih panjang meliputi masa persiapan dari sejumlah proyk-proyek utama. Bila RJM terlalu pendek, maka tidak akan cukup waktu untuk menyiapkan proyek-proyek utama. Sebaliknya, jika RJM terlalu panjang, maka tahun terakhir dapat berubah karena peristiwa-peristiwa internasional yang tidak dapat diduga sebelumnya. Misalnya NSB yang penerimaan ekspornya sebagian besar tergantung kepada produk-produk pertanian dan raw-material tidak dapat dimaksukkan ke dalam RJM karena harga produk-produk mereka ditentukan oleh fluktasi-fluktasi harga di pasar internasional. RJM oleh karena itu tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.
Yugoslavia meningkatkan jangka waktu RJM-nya dari 5 menjadi 7 tahun untuk periode 1964-1970 karena merasa bahwa peridoe 5 tahun tidak cukup panjang untuk mencakup persiapan proyek-proyek hidroelektrik dan metalurgi. Indonesia berangkat dari periode 5 tahun menjadi periode 8 tahun karena pemerintah merasakan kelemahan-kelemahan administratif dan organisasional akan mencegah penyelesaian rencana itu di dalam jangka waktu yang lebih pendek. Sejak tahun 1969 kembali Indonesia menggunakan jangka waktu 5 tahun untuk RJM-nya.
5.9.2             Rencana Perspektif
Rencana perspektif (RP) meliputi jangka waktu 15 s/d 20 tahun atau lebih. Rencana ini hanya berisi target-target industri utama untuk jangka waktu 15 s/d 25 tahun yang akan datang. Target RJM dan rencana tahunan (RT) dapat dimasukkan ke dalam pola jangka panjang ini, misalnya target industri baja dan elektronika divisualisasikan untuk periode yang lebih lama dari 5 tahun. RP memberikan perhatian yang lebih banyak kepada target-target fisik dan keuangan.
Berapa lama jangka waktu RP yang diinginkan bagi suatu negara tergantung kepada tahap pembangunan yang sedang dilaluinya. Namun RP harus jauh lebih lama daripada RJM karena tujuan utamanya adalah memberikan perspektif kepada RJM. Misalnya, India yang merumuskan RPI-nya dengan jangka waktu 30 tahun yang dihubungkan dengan Repelita I negara ini, ternyata terlalu panjang. Untuk Repelita II, oleh karena itu ditetapkan 15 tahun dengan proyeksi ke depan selama 20 tahun untuk beberapa sektor. Pada Repelita III Komisi Perencanaan India menyiapkan proyeksi 15 tahun ke depan dan untuk Repelita IV kembali digunakan proyeksi untuk perspektif 15 tahun, tetapi dengan proyeksi-proyeksi yang lebih kongrit yang diperpanjang hanya untuk 10 tahun. Pakistan juga mengurangi periode RP-nya dari 30 tahun (dalam Repelita II) menjadi 20 tahun (dalam Repelita III).
Sebagai alternatif periode perspektif yang tetap (fixed perspective period) suatu negara dapat pula menggunakan periode perspektif yang berubah-ubah (moving perspective) yang bergerak ke depan dan berubah dalam setiap RJM. Misalnya India menetapkan periode perspektif (1951-1981) untuk RJM I, (1956-1971) untuk RJM II, (1961-1976) untuk RJM III dan RJM IV menggunakan dua periode yaitu (1966-1981). Karena tujuan utama RP adalah untuk melihat sejauh mungkin ke depan saat berakhirnya RJM maka periode RP yang bergerak ke depan dengan terminasi pada setiap RJM ini lebih disukai. Bila RP tetap menggunakan jangka waktu yang tetap, maka kerugiannya adalah berkurangnya kegunaan RP tersebut untuk membuka ufuk baru yang terdapat pada trend jangka panjang.
Perbedaan rencana jangka panjang (RJP) dengan RP adalah bahwa RJP hanya menyangkut 1 sektor tertentu, sementara RP meliputi semua sektor yang ada dalam perekonomian bersangkutan.
5.9.3         Rencana Tahunan
Kerangka RJM perlu diisi dengan rencana tahunan (RT). Sebagian besar RJM menunjukkan total investasi pada masing-masing sektor pada periode rencana bersangkutan secara keseluruhan. Jadi RJM bukanlah suatu rencana yang operasional, dan oleh karena itu disempurnakan dengan kerangka RT. RT berisi berbagai target-target tahunan untuk tujuan implementasi. Secara real RT ini adalah dalam bentuk bujet ekonomi nasional, yang biasanya disusun untuk jangka waktu 1 tahun, dan merupakan pasangan bagi Anggaran Pendapatan Belanda Negara (APBN).
RT adalah rencana terkontrol dalam arti harus mendapat persetujuan dari badan legislatif. RJM atau RP adalah suatu dokumen yang tidak perlu mendapat persetujuan badan legislatif. RJM dan RP atau RJP merupakan suatu pernyataan mengenai intensi atau maunya pemerintah. RT sebaliknya, merupakan suatu dokumen yang operasional.
Berlawanan dengan RP yang kurang rinci daripada RJM, maka RT lebih rinci lagi. Penyusunan RT dimulai dari evaluasi terhadap perkembangan RJM tahun sebelumnya. Dalam hal ini yang akan dianalisis adalah target yang dicapai dengan target yang direncanakan, dan bila terjadi penyimpangan, maka dikaji faktor apa yang menyebabkannya. Proyek-proyek penting yang dilaksanakan dalam tahun berjalan serta taksiran biaya dan sumber-sumber yang diuraikan secara rinci. RT juga menguraikan langkah-langkah yang diambil untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan dan kegagalan-kegagalan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. RT juga menunjukkan kebijakan-kebijakan spesifik yang diambil dalam bidang moneter, kredit, upah, fiskal dan kebijakan-kebijakan lainnya yang diambil dalam tahun berjalan untuk mencapai target-target tahunan. Karena RT mencoba mengaju kekurangan-kekurangan atau kelebihan-kelebihan dalam pencapaian target-target sebelumnya, maka terdapat kemungkinan-kemungkinan terjadinya perbedaan dalam beberapa hal dengan estimate-estimate semula yang terdapat dalam RJM. Juga mungkin terdapat perbedaan pada RJM karena perubahan-perubahan kondisi domestik dan internasional. Suatu RT oleh karena itu memberikan pelang istimewa untuk merevisi RJM. RT mengintroduksi banyaknya fleksibelitas yang diperlukan dalam implementasi RJM bersangkutan dan menetapkan program-program pembangunan yang akan diimplementasikan dengan cukup lengkap dan rinci.
Kegagalan dalam merumuskan RT atau merinci target-target investasi, output dan target-target lainnya ke dalam komponen-komponen tahun awal RJM terbukti sangat mahal. Misalnya alokasi cadangan devisa selama 5 tahun ke dalam Repelita II India untuk investasi swasta. Bagian terbesar dari cadangan devisa ini dihabiskan oleh para investor swasta dalam dua tahun pertama dengan akibat terdapat krisis cadangan devisa di negara ini pada tahun 1957 dan 1958. Krisis ini tidak hanya menghalangi ekspansi lebih lanjut tetapi juga produksi pada tahun berjalan.
Perencanaan tahunan (PT) juga merupakan ciri dominan dalam perencanaan Sovyet dan Eropa Barat dimana RT diturunkan dari RJM. PT tidak merupakan ciri dari Repelita I India, meskipun Repelita II disusun sebagai kerangka kerja yang luas di dalam mana RT tersebut dibuat. Dalam mengimplementasikan Repelita III komisi Perencanaan mengambil inisiatif untuk memformulasikan RT. RT juga dirumuskan untuk 3 tahun sesudah berkahirnya Repelita III.
Terdapat kemungkinan timbulnya konflik antara RJM dengan RP dalam suatu negara. Apa yang harus dilakukan untuk menghadapi kemungkinan semacam ini? Di negara-negara sosialis tujuan-tujuan yang terdapat dalam RP menentukan tujuan-tujuan yang terdapat dalam RJM. Dengan kata lain timbul konflik diantara RP dengan RJM, maka yang dimenangkan adalah RP. Dalam perekonomian sosialis oleh karena itu, perencanaan perspektif (PP) memainkan peranan ‘leading’. Tetapi di negara-negara dengan sistem ekonomi campuran RJM lebih diutamakan daripada RP.
5.10       KESINAMBUNGAN DALAM PERENCANAAN
Perencanaan Perspektif merupakan suatu proses jangka panjang yang kontinu, yang memerlukan persiapan yang persisten (berkelanjutan). Perencanaan ini tidak berakhir dengan selesainya perumusan dan penyebarluasan ‘rencana’. Setiap RP mewarisi suatu tugas yang belum selesai pada masa lalu dan perlu diselesaikan pada perencanaan yang akan datang. Rencana berikut mencakup rencana sebelumnya. Proyeksi-proyeksi yang dimulai dalam rencana sebelumnya, pelaksanaanya berlanjut pada tahap-tahap berikutnya.
Meskipun demikian transisi dari suatu rencana ke rencana lainnya mungkin tidak berjalan lancar, karena beberapa hal. Pertama, RJM berikutnya mungkin tidak siap ketika RJM sedang berjalan selesai karena waktu yang tersedia untuk menyusun draft RJM berikutnya itu terlalu pendek. Kedua, proyek-proyek baru yang tidak cocok dengan ruang atau proyek-proyek yang sudah ada yang mungkin dihilangkan.
Kontinuitas rencana tidak dapat dielakkan bila perencanaan diharapkan berhasil. Alasannya, karena tidak ada proyek atau program yang dapat dilaksanakan seperti yang dipahami oleh para perencana pada waktu merumuskan rencana tersebut. Deviasi harus selalus terjadi sebagai hasil dari perubahan keadaan domestik dan internasional. Setiap target dalam suatu rencana bagaimana realistinya sewaktu dimulai mungkin mengalami perubahanselama periode rencana itu. Hal ini berarti bahwa mesin perencana harus memiliki kesiapan yang permanen untuk menanggulangi setiap perubahan yang terjadi dalam perekonomian bersangkutan. Kadang perubahan periode rencana dapat diperluas agar tersedia waktu yang lebih banyak untuk mencapai target yang telah ditetapkan semula.
Kegagalan memelihara kontinuitas rencana kadang-kadang dapat mendatangkan konsekuensi-konsekunesi serius bagi perekonomian terutama di negara-negara sosialis. Di negara-negara sosialis perusahaan-perusahaan industri merencanakan kegiatan mereka untuk tahun yang akan datang hanya apabila menerima instruksi-instruksi tersebut akan mencegah atau menghalangi perusahaan-perusahaan semacam ini dalam menyusun perencananaan kegiatan mereka, dan selanjutnya menyebabkan gangguan serius terhadap proses bekerjanya rencana itu.


5.11       ROLLING PLANNING[10]
Prof. Gunar Myrdal menyarankan gagasan rolling planning untuk perekonomian terbelakang. Dengan demikian setiap tahun ada tiga rencana harus dibuat yaitu: RT, RJM dan RP.
Gagasan utama rolling planning ini adalah bahwa RJM diperbarui (direvisi) setiap akhir tahun dan jumlah tahun yang tersisa akan tetap sama.[11] Sebagai ilustrasi perhatikan Tabel 5.1 berikut. Kolom 2 menyajikan perioderisasi Repelita Indonesia selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I). sedangkan kolom 3 menggambarkan perioderisasi Repelita tersebut jika menggunakan teknik Rolling Planning.
Tabel 5.1
Teknik Perencanaan Biasa dan Rolling Planning
Repelita
Periode Perencanaan
Metoda Biasa
Rolling Planning
I
1969/70 – 1973/74
1969/70 – 1973/74
II
1974/75 – 1978/79
1970/71 – 1974/75
III
1979/80 – 1983/84
1971/72 – 1975/76
IV
1984/85 – 1988/89
1972/73 – 1976/77
V
1989/90 – 1993/94
1974/75 – 1977/78

Berikut ini adalah beberapa alasan kenapa teknik rolling planning tidak digunakan di beberapa negara.
1.      Teknik rolling planning ini tidak begitu dipahami di beberapa NSB
2.      Meskipun konsep ini dipahami, organisasi perencanaan di NSB tidak dilengkapi secukupnya untuk dapat menterjemahkan konsep ini ke dalam praktek
3.      Bila target perencanaan diubah setiap tahun sebagian konsekuensi dari teknik rolling planning, maka hal itu akan menciptakan uncertainty dalam pikiran para enterprenuer (wiraswasta) mengenai tujuan dan target rencana yang akhirnya menghalangi perkembangan perencanaan itu sendiri
4.      Rolling planning tidak mempunyai daya tarik psikologi sebagai suatu cabang rencana baru bagi publik maupun bagi pemimpin publik
5.12       PERENCANAAN TAMBAHAN
Karena NSB menghadapi ketidakcukupan sumber-sumber keuangan yang besar pada waktu memulai pembangunannya, maka negara ini disarankan menerapkan teknik perencanaan khusus yang disajikan dalam dua bentuk:
  1. Bagian inti atau esensial
b.      Bagian pelengkap
Bagian esensial harus diimplementasikan dengan biaya dan sumber-sumber yang sebelumnya sudah pasti ada. Bagian pelengkap adalah bagian dari rencana yang diimplementasikan hanya apabila sumberdaya yang diperlukan diperkirakan dapat disediakan melalui usaha-usaha yang cukup pada periode rencana itu. Bila sumberdaya itu kemudian terbukti tidak cukup, maka rencana tersebut harus dimodifikasi baik struktur maupun prioritas-prioritasnya. Misalnya di Indonesia, APBN 1993/1994 disusun berdasarkan patokan harga minyak bumi US$ 18,- per barel di pasar internasional. Dengan harga minyak setinggi itu pemerintah akan dapat memperoleh sekitar 40 persen dari dana pembangunannya pada tahun berjalan (1 Maret 1993 s/d 31 April 1994). Namun seak bulan Juni 1993 ternyata harga minyak terus menurun sehingga mencapai US$ 12 per barel pada bulan Desember 1993. Sudah tentu hal ini akan mengurangi penerimaan pemerintah dan kemampuannya dalam membiayai proyek-proyek yang sudah direncanakan sebelumnya. Oleh karena itu pemerintah memodifikasi rencana tersebut antara lain dengan menunda pelaksanaan beberapa proyek yang skala prioritasnya rendah dan bahkan menurunkan target beberapa proyek yang tidak begitu vital.
5.13       KELUWESAN DAN KEKAKUAN DALAM PERENCANAAN
Dalam menjelaskansub bab ini tepat sekali apabila kita ingat pendapat Prof. E. F Durbin bahwa:
“Perencanaan tidak dapat dan tidak harus berarti suatu dogma mengenai masa datang. Tidak mungkin mengatakan secara rinci mengenaiapa yang akan terjadi terjadap selera manusia, penemuan teknis, standar umum perencanaan dan kesejahteraan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu akan menjadi sangat bodoh untuk mencoba menyusun rencana-rencana yang tidak dapat diubah dengan cepat dalam masyarakat yang sudah berubah. Masih belum ada ahli astronomi dalam bidang ekonomi yang dapat menyusun perencanaan yang secara akal sehat tidak kaku atau permanen”.
DarI pendapat Prof. Durbin tersebut dapat kita pahami bahwa suatu perencanaan hendaklah fleksibel. Sewaktu perencanaan berjalan, terdapat pembangunan-pembangunan baru, pengalaman-pengalaman baru dan arah kecenderungan baru. Oleh karena itu suatu rencana yang sudah dibuat sebelumnya harus cukup fleksibel untuk menerima revisi-revisi yang dibuat. Sekaligus hal ini berarti bahwa suatu rencana pembangunan hanya dapat menjadi kerangka kerja dari program-programdan tidak merupakan sesuatu yang keramat atau cetak biru masa datang yang tidak dapat diganggu gugat. Suatu rencana memang harus cukup rinci untuk memberikan panduan kepada tindakan tetapi tidak dapat terlalu rinci sehingga mengurangi fleksibelitas yang sangat diperlukan untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang sedang berubah.
Revisi yang berulang-ulang bukanlah merupakan indikasi dair jeleknya perencanaan. Bahkan sebaliknya, merupakan suatu tanda bahwa perencanaan itu adalah baik, karena ada penyesuaian target-target yang sudah ditetapkan sebelumnya dengan keadaan yang sedang berubah yang sebelumnya tidak teramalkan oleh para perencana. Suatu rencana harUs selalu merupakan subjek untuk revisi tetap up to date.


[1] Naskah Departemen Penerangan RI (1974). Ringkasan Repelita II. PT Pradnya Paramita, Jakarta.
[2] Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/78. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Departemen Penerangan RI. Jakarta.
[3] Rencana Pembangunan Lima Tahun Keempat. 1984/1985 – 1988/1989. JilidI. h. 17
[4] Ibid h. 19
[5] Uraian selengkapnya mengenai teori atau model H-D ini ditempatkan pada sub-bab 6.1
[6] Perhatikan bahwa SIR identik dengan APS (Average Propensity to Save), suatu terminologi yang lazim digunakan di dalam text book teori ekonomi makro.
[7] Seth, M.L. Theory and Practice of Economic Planning. (New Delhi: S. Chand & Co Ltd., 1971), p. 103.
[8] Ibid., pp. 103-104
[9] Penjelasan model I-O secara terinsi diberikan pada Bab X
[10] Teknik ‘rolling planning’ ini pernah diterapkan di Puerto Rico, Philipina, India, Uni Sovyet, Burma dan Meksiko
[11] Lihat M.L Seth. Theory and Practice of Economic Planning. NewDelhi: S. Chand & Co. LTd, 1971), p. 119
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.