BAB 8 MAZHAB NEO-KLASIK

A.    LATAR BELAKANG
Teori-teori yang dikembangkan oleh Marx dan Engels mendapat banyak tanggapan dari para ekonom pada waktu itu, baik dari kaum sosialis sendiri maupun dari kaum liberal-kapitalis. Pemikir-pemikir ekonomi dari kaum liberal ini kemudian dimasukkan ke dalam suatu kelompok pemikir ekonomi tersendiri yang disebut Mazhab Neo-Klasik.
Karena analisis yang dibuat Marx untuk meramal keruntuhan kaum kapitalis bertitik tolak dari nilai kerja dan tingkat upah, maka para pakar neo-klasik mempelajari kembali secara mendalam.
Oleh W. Stanley Jevons, Leon Walras, Karl Menger dan Alfred Marshall teori tersebut kembali dikaji. Kemudian mereka mendapat kesimpulan yang sama, bahwa teori surplus value Marx tidak mampu menjelaskan secara tepat tentang nilai komoditas (modal). Dari kesimpulan ini mereka telah menghancurkan seluruh bangunan teori sosialis yang dikembangkan oleh Marx dan Engels, dan menyelamatkan sistem kapitalis dari kemungkinan krisis.

B.    KONSEP ANALISIS MARGINAL
Para pakar neo-klasik dalam membahas ramalan Marx menggunakan konsep analisis marginal  (Marginal Analysis) atau Marginal Revolution. Pada initinya, konsep ini merupakan pengaplikasian kalkulus diferensial terhadap tingkah laku konsumen dan produsen, serta penentuan harga-harga di pasar.
Teori ini telah lama digunakan dan dikembangkan Heindrich Gossen (1810-1858) dalam menjelaskan kepuasaan (utility) dari pengkonsumsian sejenis barang. Menurutnya, kepuasan marginal (Marginal Utility) dari pengkonsumsian suatu macam barang akan semakin turun jika barang yang sama dikonsumsi semakin banyak (Hukum Gossen I). Dalam Hukum Gossen II, menjelaskan bahwa sumber daya dan dana yang tersedia selalu terbatas, secara relatif, untuk memenuhui berbagai kebutuhan yang relatif tidak terbatas.
Karena pada masanya teori ini tidak mendapat perhatian lebih dari para ekonomnya, maka sekitar 40 tahun kemudian, Jevons, Menger, Bohm-Bawerk dan von Wieser (yang tergabung dalam Mazhab Austria) memberi pengakuan dan penghargaan atas karya Gossen tersebut. Sejak itulah konsep marginal ini sering diakui sebagai kontribusi utama dari mazhab Austria.
1)    Mazhab Austria
Adalah kelompok pemikir ekonomi yang mendukung dan memakai konsep marginal, dan berasal dari Universitas Wina (Austria). Mereka mempunyai ciri pandang khusus, yaitu penerapan kalkulus dalam pengembangan teori-teori mereka.
Tokoh utama Mazhab Austria adalah:
    Karl Menger (1840-1921)
Karya utamanya adalah Grusatze der Volks Wirtschaftslehre (1817). Dalam bukunya ia mengembangkan teori utilitas marginal.
    Friedrich von Wieser (1851-1920)
Karya utamanya adalah Uber der Ursprung und die Hauptyesetze des Wirtschaftlichen Wertes (1884), Der Naturliche Wert (1889) dan Theory der Gesellschatlichen Wirtschaft (1914). Ia sangat berjasa dalam mengembangkan teori utilitas Menger dengan menambahkan formulasi biaya-biaya oportunitas (Opportunity Cost).
    Eugen von Bohm-Bawerk (1851-1914)
Karyanya adalah Capital an Interest (1884) dan Positive Theory of Capital (1889). Kontribusi utamanya adalah dalam pengembangan teori tentang modal (theory of Capital) dan teori tentang tingkat suku bunga.
Kemudian teori-teori mereka dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh lain, seperti:
    Knut Wicksell (1851-1926)
Ia berjasa dalam mengasimilasikan analisis keseimbangan umum Walras dengan teori kapital dan suku bunga Bohm-Bawerk menjadi teori distribusi. Dan pengembangan teori moneter yang dihubungkan langsung antara tingkat suku bunga dengan harga-harga. Karya utamanya adalah Lectures on Political Economy (1901).
    Ludwig Edler von Mises (1881-1973)
Karya-karyanya antara lain The Theory of Money and Credit (1912), Bureaucracy (1944) dan The Ultimate Foundation of Economic Science (1962).
Menurutnya, sistem harga merupakan basis paling efisien dalam mengalokasikan sumber day. Oleh karena itu, ia sering mengkritik sistem ekonomi komando yang tidak mempunyai sistem harga, dan sistem ekonomi komando tidak akan mendapat melembagakan sistem harga tanpa terlebih dulu menghancurkan prinsip-prinsip poltik.
Teori lain yang dikembangkan von Mises adalah teori paritas daya beli (Purchasing Power Parity), teori trade cycle dan mengaplikasikan teori marginal utility untuk mengembangkan teori baru tentang uang.
    Friedrich August von Hayek (1899-...)
Karyanya antara lain: Monetary Theory an The Trade Cycle (1929), Profit, Interest, Investment (1939) dan The Pure Theory of Capital (1941).
Dia dianggap sangat berjasa dalam mengembangkan teori siklus perdagangan (Theory of Trade Cycle) dari von Mises yang diintegrasikannya dengan teori kapitalnya Bohm-Bawerk.

2)    Mazhab Lausanne
Langkah lebih maju yang disumbangkan pemikir neo-klasik adalah analisis yang lebih komprehensif tentang teori keseimbangan umum oleh Leon Walras. Dan Walras dianggap sebagai pelopor mazhab Lausanne (Lausanne School of Economic). Karyanya, Elements of Pure Economics (1878), dianggap sebagai suatu mahakarya dalam bidang ekonomi. Dalam bukunya itu dia menjelaskan teori keseimbangan umum dengan pendekatan matematis.
Walaupun telah disinggung oleh para pendahulunya, hanya dialah yang mampu memberikan kisi yang lebih jelas tentang interdependensi bagian-bagian ekonomi ini dengan gamblang dengan model keseimbangan umumya (general equilibrium model). Dan ia menguraikan dengan jelas bahwa perubahan suatu faktor atau bagian ekonomi akan membawa perubahan pada variabel-variabel lain dalam sistem ekonomi tersebut secara menyeluruh.
Sayang, konsep dan model ini tidak diperhatikan oleh para ekonom pada zamannya, sampai dengan Alfred Marshall menyelamatkannya, sehingga konsep ini dihargai orang dengan sepantasnya. Kemudian ia dianggap sebagai pendiri dan pengembang ilmu ekonometrika.
Sejak Walras meninggal, ia digantikan oleh Vilfredo Pareto. Ia meneruskan aliran matematika Walras dan banyak membantu dalam menjelaskan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar sumber-sumber daya dapat dialokasikan sehingga memberikan hasil yang optimum dalam suatu model keseimbangan umum.
Menurutnya, suatu pengalokasikan sumber-sumber disebut efisien jika keadaan atau kondisi yang dicapai secara jelas dan tidak bisa dibuat menjadi lebih baik lagi (Hukum Pareto/Pareto’s Law).
3)    Mazhab Cambridge
Tokoh paling utama mazhab ini adalah Alfred Marshall (1842-1942), karena dia dianggap sebagai pelopor atau pendiri mazhab Cambridge (Cambridge School of Economics) di Inggris.
Beberapa karya utamanya antara lain The Pure Theory of Foreign Trade (1829), The Principles of Economy (1890), Industry and Trade (1919) dan Money, Credit and Commerce (1923).
Dia dianggap berjasa dalam memperbarui asas dan postulat pandangan-pandangan ekonomi pakar klasik dan neo-klasik sebelumnya. Dimana kaum klasik berpendapat bahwa yang menentukan harga adalah sisi penawaran; sedangkan neo-klasik beranggapan bahwa yang menentukan harga adalah kondisi permintaan.
Akan tetapi Marshal menggabungkan kedua konsep tersebut. Sehingga ia menyimpulkan bahwa harga terbentuk sebagai integrasi dua kekuatan di pasar: penawaran dari pihak produsen dan permintaan dari pihak konsumen.
Perbedaan lain antara Marshall dan kaum klasik adalah dalam metode penelitiannya. Jika kaum klasik lebih banyak menggunakan metode induktif. Lain halnya dengan Marshall yang mengombinasikan metode induktif dan deduktif (abstraksi digabung dengan realisme yang didukung oleh data statistik) agar terhindar dari kemiskinan dan kemelaratan itu.
Pada tahun 1908 kedudukan Marshall diganti oleh muridnya, Arthur Cecil Pigou (1877-1959). Karya-karyanya antara lain Principles and Methods of Industrial Peace (1905), Wealth and Welfare (1912), The Theory of Unumployment (1933) dan Employment and Equilibrium (1941).
Pigou adalah orang pertama yang mengemukakan konsep real balance effect (dampak pigou/Pigou’s Effect). Pigou’s Effect adalah suatu stimulasi kesempatan kerja yang disebabkan oleh meningkatnya nilai riil dari kekayaan likuid sebagai konsekuensi dan turunnya harga-harga. Pandangan ini merupakan salah satu dasar mengapa kaum klasik dan neo-klasik percaya bahwa keseimbangan kesempatan kerja penuh (full-employment equilibrium) dapat dicapai sebagai hasil penurunan dalam tingkat upah.

C.    PERSAINGAN MONOPOLISTIK DAN PASAR TIDAK SEMPURNA
Pada tahun 1930-an sejumlah pakar ekonomi neo-klasik generasi kedua melakukan revesi terhadap pemikiran-pemikiran neo-klasik generasi pertama. Tokoh yang ikut serta merevisi pemikiran-pemikiran mereka adalah Piero Sraffa (1898-1983), Joan Violet Robinson (1903-1983) dan Edward Hasting Chamberlin (1899-1967).
Para tokoh klasik dan neo-klasik generasi pertama tidak pernah mempersoalkan apakah pasar persaingan sempurna, dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, benar-benar mencerminkan pasar sempurna atau tidak, serta tidak mempersoalkan asumsi-asumsi yang terjadi pada pasar persaingan sempurna. Adapun asumsi-asumsi itu adalah seabagai berikut:
1.    Terdapat banyak pembeli dan penjual (multi perusahaan).
2.    Barang-barang yang dijual bersifat homogen.
3.    Tiap perusahaan bebas keluar-masuk pasar.
4.    Pembeli dan pejual sebagai price taker, karena mereka tidak mampu mengubah harga yang ditentukan pasar.
5.    Pembeli dan penjual mempunyai informasi yang lengkap.
 Oleh karena itu, dalam artikelnya (The Laws of Returns under Competitive Conditions, 1926), Sraffa mengungkapkan bahwa saat ini perusahaan-perusahaan besar sudah banyak dan perusahaan-perusahaan itu tahu kalau seandainya mereka mengubah keputusan output atau penawaran maka harga-harga dapat berubah.
Kemudian Chamberlin memusatkan perhatiannya pada pasar monopolistik dalam bukunya, The Theory of Monopolistic Competition, 1933. Ia menyebutkan bahwa banyak asumsi yang digunakan dalam pasar persaingan sempurna, terutama dalam produk yang homogen, yang tidak realistis. Karena tidak mungkin suatu pasar hanya memproduksi satu jenis barang saja (homogen).
Oleh karena itu, masih menurut Chamberlin, perusahaan-perusahaan pasti berusaha untuk melakukan diferensiasi pada produk-produknya guna mempertahankan perusahaannya supaya bertahan di pasar tersebut. Jika usaha itu (diferensiasi produk) berhasil maka perusahaan itu dapat memengaruhi harga-harga di pasar, dan dia dapat bertindak sebagai penentu harga (price setter), bukan sebagai penerima harga (price taker).
Dengan demikian, pasar ini sudah tidak sempurna lagi karena ciri utama dalam pasar monopolistik adalah adanya diferensiasi produk dan perusahaan bertindak sebagai price setter bukan sebagai price taker. Juga biasanya harga yang terbentuk dalam pasar monopolistik lebih tinggi daripada harga yang terbentuk dalam pasar sempurna.
Begitu juga dengan Joan Robinson, yang mempunyai analisis hampir mirip dengan Chamberlin. Namun, Joan Robinson, analisisnya lebih fokus pada pembahasan “pasar persaingan tidak sempurna (Imperfect Competition)”. Menurutnya, tiap perusahaan dalam pasar tidak sempurna memegang posisi monopoli, dimana posisi ini didapatkan dari barang-barang yang dibeli berdasarkan preferensi konsumen (Customer Preference) walaupun ada barang substitusi yang dihasilkan oleh perusahaan lain.
Dalam kenyataannya bahwa persaingan dunia pasar tidak sempurna dan membawa pada implikasi yang cukup serius terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam pasar persaingan tidak sempurna efisiensinya, sebagaimana diungkapkan Pareto, tidak bisa dicapai.
Kesimpulannya, pandangan ketiga tokoh ini bagi pengembangan teori ekonomi adalah (bagi mereka) model pasar persaingan sempurna yang dikembangkan oleh kaum klasik dan neo-klasik terdahulu hanya merupakan suatu konstruksi pemikiran yang diharapkan belaka (secara teoritis) yang kenyataannya mempunyai keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari.

D.    GAMES THEORY (GT) DAN INFORMASI ASIMETRIS
Konsep Games Theory (GT) adalah suatu konsep untuk menjelaskan perilaku ekonomi dalam pasar yang hanya diisi oleh segelintir pelaku ekonomi. Landasan konsep ini sudah diterapkan oleh Cournot pada tahun 1838 dan Bertrand tahun 1883 dengan mengembangkan model aksi-reaksi dalam pasar duopoli. Model ini mulai dikembangkan lebih lanjut oleh Edgeworth pada tahun 1925 dan dikukuhkan sebagai teori melalui karya John von Newmann dna Oscar Morgenstern dalam bukunya yang berjudul The Theory of Games and Economic Behaviour (1944). Kemudian konsep GT disempurnakan lebih lanjut oleh John Nash pada tahun 1950.
Nash mengembangkan konseo GT untuk menganalisis situasi kepentingan pelaku ekonomi yang tidak berlawanan, yang kemudian muncullah istilah “keseimbangan Nash (Nash Equilibrium)”. Konsep GT Nash ini bekerja atas asumsi informasi yang simetris (tiap pemain memiliki informasi yang sama).
Dari konsep GT Nash, berkembanglah GT yang beroperasi dalam situasi informasi yang bersifat asimetris (tidak memiliki informasi yang sama terhadap satu hal) oleh John Harsanyi (1967). Kemudian GT dikembangkan lagi oleh Reinhard Selten (dari Universitas Bonn, Jerman) dalam bentuk situasi yang lebih dinamis. Menurut Selten, perubahan tindakan seorang pemain tidak hanya ditentukan oleh kenyataan peluang untuk memperbaiki posisi. Oleh karena itu, menurut Selten, frekuensi permainan akan mempengaruhi strategi permainan bagi setiap orang.
Konsep John Harsanyi dikembangan lebih lanjut oleh William S. Vickrey dan James A. Mirrless. Dengan konsep ini mereka dapat menyusun agenda bagaimana memenuhi tanggung jawab sosial pada abad XXI melalui insentif dan kebijaksanaan pajak global. Kemudian konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh George Ackerlof, Joseph Stiglitz dan Michael Spence. Mereka berjasa dalam membangun pondasi bagi teori umum tentang pasar dengan  menggunakan informasi asimetris.
George Ackerlof adalah orang pertama yang mengembangkan teori umum tentang pasar dengan informasi asimetris. Dia menjelaskan betapa pentingnya informasi pasar dalam tulisannya yang bertajuk The Market for Lemons. Sedangkan menurut Spence, pihak yang menguasai  informasi bisa memberikan  isyarat kepada orang yang kurang menguasai informasi.


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.