Salah
satu dokumen mengatakan bahwa pembangunan perkotaan akan sustainable jika di
dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan
capital (minimal sama dengan generasi sekarang) yang dapat diperlihatkan dengan
relatif lebih tinggi capital per kapita dibanding generasi sekarang.
Modal-modal itu dapat dilukiskan sebagai human capital (investasi dalam
pendidikan, kesehatan, atau gizi), social capital (fungsi dan keberadaan
kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi dan
keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan) dan man-made capital (investasi yang
umumnya terhitung dalam anggaran perekonomian) (Majalah Prisma Volume 6 1997 –
LP3ES Jakarta, hlm 6).
Modal Sosial
a.
Definisi
Modal
sosial adalah suatu konsep dengan berbagai definisi yang saling terkait, yang
didasarkan pada nilai jaringan sosial. Sejak konsepnya dicetuskan, istilah
"modal sosial" telah digambarkan sebagai "sesuatu yang sangat
manjur" [Portes, 1998:1] bagi semua masalah yang menimpa komunitas dan
masyarakat pada masa kini.
Modal
sosial adalah bagian-bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma
dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi
tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Modal sosial juga didefinisikan sebagai
kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau
bagian-bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Selain itu, konsep ini juga
diartikan sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama
di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama.
Dalam
pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat menguntungkan
atau menghasilkan. Modal itu sendiri dapat dibedakan atas :
1) Modal
yang berbentuk material seperti uang, gedung atau barang;
2) Modal
budaya dalam bentuk kualitas pendidikan; kearifan budaya lokal; dan
3) Modal
sosial dalam bentuk kebersamaan, kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan
dalam bentuk kehidupan bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem
penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan tindakan kolektif.
Modal
sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan
dan jaring kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk
mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan
pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas, serta pola hubungan yang
memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif.
Menurut
Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena
1) Memberikan
kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas;
2) Menjadi
media pembagian kekuasaan dalam komunitas;
3) Mengembangkan
solidaritas;
4) Memungkinkan
mobilisasi sumber daya komunitas;
5) Memungkinkan
pencapaian bersama; dan
6) Membentuk
perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas.
Modal
sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka,
saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk
berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa
kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.
Diberlakukannya
Undang-Undang NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan
peluang bagi daerah (kabupaten dan kota) untuk menciptakan kemandirian dalam
rangka membangun daerahnya dengan berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi,
partisipasi dan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya lokal. Lokal menurut pemahaman UU No. 22 Tahun 1999
adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah
tingkat satu/propinsi, daerah tingkat dua/ kabupaten atau kota, dan
dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik yaitu kecamatan dan desa.
Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung
jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat, seperti rukun tetangga, arisan
trah, kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya dan memberikan manfaat
bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Institusi lokal dalam komunitas harus
dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang dan institusi lokal telah menyediakan jaring
pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi
krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu
tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan
menduduki posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling
percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini
semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (sosial capital). (Drs. M.
Pupu Saeful Rahmat M.Pd., Memupuk institusi lokal dan modal sosial dalam
kehidupan bermasyarakat, posted on 29 Maret 2008)
b.
Pengalaman
Bencana
·
Gempa bumi Sumatera Barat 2009
Gempa
Bumi Sumatera Barat 2009 terjadi dengan kekuatan 7,6 Skala Richter di lepas
pantai Sumatera Barat pada pukul 17:16:10 WIB tanggal 30 September 2009. Gempa ini terjadi di lepas pantai Sumatera,
sekitar 50 km barat laut Kota Padang. Gempa menyebabkan kerusakan parah di
beberapa wilayah di Sumatera Barat seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota
Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota
Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Menurut
data Satkorlak PB, banyaknya 6.234 orang tewas akibat gempa ini yang tersebar
di 3 kota & 4 kabupaten di Sumatera Barat, korban luka berat mencapai 1.214
orang, luka ringan 1.688 orang, korban hilang 1 orang. Sedangkan 135.448 rumah
rusak berat, 65.380 rumah rusak sedang, & 78.604 rumah rusak ringan
·
Latar belakang
Provinsi
Sumatera Barat berada di antara pertemuan dua lempeng benua besar (lempeng
Eurasia dan lempeng Indo-Australia) dan patahan (sesar) Semangko. Di dekat
pertemuan lempeng terdapat patahan Mentawai. Ketiganya merupakan daerah seismik
aktif. Menurut catatan ahli gempa wilayah Sumatera Barat memiliki siklus 200
tahunan gempa besar yang pada awal abad ke-21 telah memasuki masa berulangnya
siklus
·
Kejadian gempa
Bencana
terjadi sebagai akibat dua gempa yang terjadi kurang dari 24 jam pada lokasi
yang relatif berdekatan. Pada hari Rabu 30 September terjadi gempa berkekuatan
7,6 pada Skala Richter dengan pusat gempa (episentrum) 57 km di barat daya Kota
Pariaman (00,84 LS 99,65 BT) pada kedalaman (hiposentrum) 71 km. Pada hari
Kamis 1 Oktober terjadi lagi gempa kedua dengan kekuatan 6,8 Skala Richter,
kali ini berpusat di 46 km tenggara Kota Sungaipenuh pada pukul 08.52 WIB
dengan kedalaman 24 km. kedua gempa ini terjadi rangkaian gempa susulan yang
lebih lemah. Gempa pertama terjadi pada daerah patahan Mentawai (di bawah laut)
sementara gempa kedua terjadi pada patahan Semangko di daratan. Getaran gempa
pertama dilaporkan terasa kuat di seluruh wilayah Sumatera Barat, terutama di pesisir.
Keguncangan juga dilaporkan dari Pematang Siantar, Medan, Kuala Lumpur, Bandar
Seri Begawan, Lembah Klang, Jabodetabek, Jakarta, Singapura, Pekanbaru, Jambi,
Pulau Batam dari Kota Batam, Palembang dan Bengkulu. Dilaporkan bahwa
pengelolaan sejumlah gedung bertingkat di Singapura mengevakuasi stafnya. Kerusakan parah terjadi di kabupaten-kabupaten
pesisir Sumatera Barat, bagian selatan Sumatera Utara serta Kabupaten Kerinci
(Jambi). Sementara Bandar Udara Internasional Minangkabau mengalami kerusakan
pada sebagian atap bandara (sepanjang 100 meter) yang terlihat hancur dan
sebagian jaringan listrik di bandara juga terputus. Sempat ditutup dengan
alasan keamanan, bandara dibuka kembali pada tanggal 1 Oktober.
·
Akibat
Peringatan
tsunami sempat dikeluarkan namun segera dicabut dan terdapat laporan kerusakan
rumah maupun kebakaran. Sejumlah hotel di Padang rusak, dan upaya untuk
mencapai Padang cukup susah akibat terputusnya komunikasi. Korban tewas akibat
gempa terus bertambah, dikhawatirkan mencapai ribuan orang. Namun demikian,
hingga tanggal 4 Oktober 2009, angka resmi yang dikeluarkan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah 603 orang korban tewas dan 343 orang
dilaporkan hilang. Pada tanggal 13 Oktober 2009, angka korban tewas meningkat
menjadi 6.234 jiwa. Pertolongan yang sangat dibutuhkan oleh korban gempa
terutama adalah kekurangan obat-obatan, air bersih, listrik, dan
telekomunikasi, serta mengevakuasi korban lainnya.
Kesimpulan
·
Partisipasi
Masyarakat
Pemerintah
daerah termasuk perencana kota/pemukiman harus segera mempertimbangkan proses
tata kelola kota/wilayah yang terencana baik dan tidak hanya berdasarkan
pesanan. Kepentingan ekonomi publik dan kerjasama organisasi termasuk didalamnya
modal sosial mempengaruhi kinerja produktivitas perkotaan. Semakin besar jumlah
organisasi memberi peluang spesialisasi, kerjasama dan koordinasi untuk
memanfaatkan aktivitas ekonomi perkotaaan. Tingkat pengambilan keputusan
desentralisasi memberi peluang mobilisasi organisasi untuk menjalankan
aktifitas ekonomi. Dalam hubungan ini governance merupakan titik awal dari
pengelolaan sumberdaya perkotaan, menentukan peranan private sector, dan
mengoperasikan pelayanan dan infrastruktur perkotaan. Kerjasama non formal juga diperlukan untuk
membangun kota/wilayah termasuk membangun kota pasca bencana (Iwan Nugroho,
1997, Modal sosial dan perkembangan kota, Prisma volume 6 : 3 – 13).
Keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan kota pasca bencana selama ini masih belum
maksimal. Pemerintah daerah masih lebih banyak mengacu pada pesanan pemberi
bantuan/dana untuk pembangunan fisik di wilayahnya seperti rumah tinggal, rumah
sakit, puskesmas, pasar dan tempat pelayanan publik lainnya. Akibatnya tidak
sedikit bangunan fisik yang dibangun pasca bencana kurang sesuai dengan budaya
dan kondisi lokal masyarakat. Salah satu bangunan mesjid di Kabupaten Klaten misalnya,
awalnya bangunannya sederhana dan cukup untuk komunitas setempat. Setelah
bencana gempa, masjid tersebut menjadi besar dan bergaya turki/arab.
Rumah-rumah di pedesaan di Jawa biasanya berbentuk limasan atau joglo atau ada
semacam teras yang biasanya dipakai untuk bercengkerama antar penduduk yang
juga berfungsi sebagai tempat menjemur gabah. Bangunan rumah setelah gempa
biasanya menjadi rumah modern, tidak ada lagi teras luas untuk tempat pertemuan
warga. Demikian pula halnya dengan bangunan pasar dan sekolah, menjadi lebih
modern dan banyak yang kemudian menjadi bangunan bertingkat. Pemerintah
setempat kemungkinan akan kesulitan mengadakan perbaikan apabila terjadi
kerusakan pada bangunan pasar yang berkonstruksi baja ringan, karena disamping
tidak sederhana juga mahal. Tidak sedikit komunitas setempat dibuat kaget
dengan munculnya satu bangunan di lokasi umum, seperti bangunan WC umum bisa
berdiri di pojok lapangan sepak bola di salah satu desa di Yogyakarta tanpa
melibatkan pengurus RT/RW setempat dalam proses perencanaanya.
Melihat
fenomena tersebut, dalam pengalaman pembangunan kota pasca bencana, masyarakat
berpartisipasi secara pasif, karena mereka hanya menjadi penerima program.
Sebenarnya sangat dimungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif yang berarti
terlibat dalam berbagai kesempatan, meskipun solusi tetap datang dari pihak
luar - mengingat budaya lokal pedesaan yang menjunjung musyawarah dan gotong
royong. Kalau ada partisipasi aktif masyarakat dalam membangun perkotaan pasca
bencana tentulah bangunan puskesmas tidak akan seperti saat ini, terlalu luas
dan banyak ruang meskipun jumlah tenaga medisnya masih sama dengan sebelum
bencana, sehingga puskesmas terlihat kosong kurang mencerminkan itu suatu
tempat pelayanan umum. Partisipasi masyarakat tidak hanya terbatas pada
pengadaan kembali bangunan pasca gempa, namun juga tindakan-tindakan
penyelamatan bila terjadi gempa. Untuk mengurangi dampak burung bencana dari
Gunung Merapi misalnya, masyarakat kemudian diberi pendidikan tentang cara
penyelamatan yang meliputi jalur evakuasi dan tempat evakuasi jika terjadi
bencana. Bantuan yang masuk dikelola oleh pemerintah daerah dan organisasi
swasta untuk memperkecil dampak buruk bencana gunung merapi. Partisipasi
masyarakat tidak hanya dalam standar partisipasi pasif atau parsipasi aktif
saja, namun sudah pada ukuran partisipasi interaktif yang artinya masyarakat
terlibat mulai perencanaan sampai dengan evaluasi.
Diberlakukannya
otonomi daerah semakin memberi peluang untuk mempertimbangkan modal sosial yang
ada di komunitas lokal dalam membangun kota/wilayah pasca bencana. Kegiatan
yang diselenggarakan dan bangunan yang diadakan akan menjadi tepat dan
terpelihara karena masyarakat merasa memiliki kegiatan /bangunan tersebut,
mereka ikut dalam semua proses pengadaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.